Islamisasi Daerah Kuningan

6 02 2015

Kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris, Islamization, yang berarti pengislaman, upaya agar seseorang menjadi penganut agama Islam (muslim). Jelas, di dalam kata-kata Islamisasi dan pengislaman itu terkandung makna “ kata kerja” (kegiatan), dinamis, aktiv; bukan “kata benda”, kemandegan, pasif. Upaya dimaksud berwujud seorang muslim menyampaikan ajaran agaa Islam kepada orang lain. Upaya tersebut dapat dilakukan secara individual dan dapat di lakukan pula secara masal. Hasil dari kegiatan itu dapat berwujud secara kuantitas (berupa jumlah orang yang menganut agama Islam) dan dapat pula berwujud secara kualitas (berupa tingkat keislaman seorang muslim, baik yang menyangkut tingkat keimanan, tingkat penguasa ilmu agama, maupun tingkat pengalamannya). Karena itu Islamisasi bukanlah suatu peristiwa, melainkan suatu proses. Proses tersebut dapat dijabarkan berupa rangkaian peristiwa yang dapat diklasifikasikan secara vertical dan juga secara horizontal.

Pelaku Islamisasi adalah muslim, sedangkan sasarannya adalah non-musllim (kafir) sebagai sasasaran utama yang hasilnya menyangkut soal kuantitas dan juga muslim yang menyangkut soal kualitas. Dengan demikian kegiatan Islamisasi dapat diklasifikasikan atas (1) mengislamkan orang yang belum muslim (kafir), dalam rangka menambah jumlah muslim (kuantitas); dan (2) mengislamkan orang yang sudah muslim, dalam rangka meningkatkan kualitas muslim.
Dalam kegiatan Islamisasi di Kuningan, konteks masalah yg dimaksud adalah mengislamkan orang yang belum menganut agama Islam (non muslim, kafir), yaitu bagaimana agama Islam mula-mula masuk dan diperkenalkan serta disebarkan kepada masyarakat di Kuningan. Karenanya, penelusuran sejarah zaman Islam di Kuningan menjadi tujuan pokok penelaahan.
Bukti-bukti konkrit yang menceritakan secara langsung bagaimana kegiatan Islamisasi pertama kali berlangsung di Kuningan sampai sejauh ini belum ditemukan. Hanya saja melalui naskah CPCN dan cerita tradisi rakyat Kuningan, secara tidak langsung diperoleh gambaran bagaimana Islamisasi daerah Kuningan itu terjadi.
Menurut cerita tradisi rakyat Kuningan, Islamisasi daerah Kuningan pertama kali dilakukan oleh seorang ulaman bernama Syekh Maulana Akbar. Dikonfirmasikan dengan CPCN diketahui bahwa Syekh Maulana Akbar ini adalah adik Syekh Datuk Kahfi yang bernama Syekh Bayanullah. Ketika Pangeran Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji di Mekah, mereka menumpang di rumah Syekh Bayanullah ini. Adapun kepergian Syekh Bayanullah ke Pulau Jawa ini diperkirakan karena tertarik oleh cerita Pangeran Walangsungsang sewaktu menginap di rumahnya. Akhirnya ketika Syekh Bentong (Putra Syekh Quro dari Karawang) naik haji, Syekh Bayanullah kemudian ikut dengan Syekh Bentong pulang ke Pulau Jawa. Syekh Bayanullah akhirnya tiba ke tempat bermukim kakaknya di Cirebon, di sana ia dikenal juga dengan sebutan Syekh Datuk Mahuyun (Atja, 1986: 158, 162; Danasasmita, 1984: 196; Sunardjo, 1983: 43-44; Dasuki et al., 1978: 35).
Adanya sebutan beberapa nama atau gelar terhadap diri seseorang pada saat itu umum dilakukan, seperti untuk memberikan gelar kehormatan atas jasa orang yang bersangkutan karena berhasil dalam suatu tugas dan pekerjaan atau perubahan nama itu dianggap perlu terjadi Karena perubahan profesi atau kedudukan. Hal ini seperti pemberian gelar terhadap Pangeran Walangsungsang, yaitu: Ki Cakrabumi, Pangeran Cakrabuana, Haji Abdullah Iman, dan Sri Mangana9 (Atja, 1986: 161-165).
Tidak dapat diketahui secara pasti kapan Syekh Bayanullah (nama menurut tradisi Cirebon) atau Syekh Maulana Akbar (nama menurut tradisi Kuningan) tiba di Cirebon dan selanjutnya ke Kuningan. Kiranya peristiwa itu berlangsung setelah Pangeran Walangsungsang menunaikan kawajiban Haji pertama tahun 1447 Masehi. Jadi, sekitar pertengahan abad ke-15 itulah Syekh Bayanullah tiba di Cirebon selanjutnya ke Kuningan. Dalam hal ini Dasuki et al. (1978: 35) mempekirakan tahun 1450 Masehi sebagai tahun kedatangan Syekh Maulana Akbar di Kuningan.
Dalam perjalanan ke daerah Kuningan, Syekh Maulana Akbar pernah singgah di suatu tempat yang disebut Buni Haji, di Luragung. Namun menurut cerita tradisi Luragung, nama Syekh Maulana Akbar ternyata tidak dikenal. Tokoh yang dikenal di kalangan rakyat Luragung adalah Haji Dul Iman (Dasuki , et al., 1978: 35). Kiranya menandakan bahwa Syekh Maulana Akbar memang tidak lama menetap di Luragung, dan masyarakat Buni Haji yang terletak di daearh perbatasan Kuningan-Cirebon telah memeluk agama Islam yang diperkenalkan Haji Abdullah Iman alias Pangeran Walangsungsang. Penduduk daerah Luragung sendiri saat itu mungkin belum semuanya menganut agama Islam, karena diketahui pula bahwa Sunan Gunung Jati kembali menyebarkan agama Islam pada tahun 1481 Masehi (Atja, 1986: 176).
Dalam usaha memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam di Kuningan, Syekh Maulana Akbar telah mendirikan sebuah pesantren yang dikenal dengan nama Pesantren Sidapurna. Nama Sidapurna yang berasal dari sida dan purna, berarti menjadi sempurna atau menuju kesempurnaan, mungkin ada hubungannya dengan keberhasilan Syekh Maulana Akbar dalam usahanya mengajak penduduk memeluk agama Islam, yang hakekatnya agama Islam sendiri dapat diartikan agama yang sempurna. Selanjutnya iapun membuka daerah pemukiman baru yang disebut dengan Purwawinangun. Di tempat ini dibangun perkampungan masyarakat dengan dasar Islam. Purwawinangun berasal dari kata purwa yang artinya mula-mula atau permulaan, dan winangun yang artinya dibangun (Dasuki et al., 1978: 37)
Kegiatan Islamisasi yang dilakukan Syekh Maulana Akbar di Kuningan tidak saja melalui usaha pendirian pesantren dan pemukiman baru Islam, namun ia pun berusaha melakukan pendekatan dengan masyarakat golongan atas. Menurut sumber tradisional Kuningan disebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar kemudian menikah dengan salah seorang putrid penguasa setempat. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Syekh Maulana Aripin yang kelak meneruskan jejak ayahandanya menyebarkan agama Islam di Kuningan (Dasuki et al., 1978: 37). Hal ini menandakan bahwa Syekh Maulana Akbar berupaya mengislamkan seluruh lapisan masyarakat di Kuningan saat itu, dari kalangan masyarakat golongan bawah hingga atas. Perkawinan dengan wanita pribumi merupakan bagian yang erat berjalinan dengan kegiatan Islamisasi (Tjandrasasmita [ed.], 1984: 190).


Aksi

Information

2 responses

13 06 2015
20 05 2016
Musa Kastu Linggajati

mantap ey kang aya iklananan

Tinggalkan komentar