Masuknya Islam ke Kuningan

6 02 2015

Permulaan Masuknya Islam di Kuningan

Berdasarkan penelitian sejarah diketahui bahwa Cirebon pernah menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dari Cirebon agama Islam disebarkan oleh Sunan Gunung Jati ke daerah Banten, sehingga selanjutnya Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian Timur Jawa Barat, dan Banten menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian Barat Jawa Barat (Ekadjati, 1975:104).Tumbuhnya pusat-pusat kegiatan agama Islam ini dimungkinkan karena daerah tersebut, terutama Cirebon, terlebih dulu tumbuh menjadi daerah kekuatan politik Islam yang sejak kelahirannya terus mengalami kemajuan dan perkembangan pesat. Lahirnya kekuatan politik Islam di Cirebon itu tidak dapat dipisahkan dengan proses penyebaran Islam di Nusantara, yaitu setelah daerah ini banyak dikunjungi dan didatangi para pedagang muslim seperti dari Arab, Persia dan India.

Carita Purwaka Caruban Nagari (selanjutnya disingkat CPCN) di antaranya telah mencatat bahwa agama Islam masuk ke Cirebon sekitar abad ke-14 Masehi, di mana pada waktu itu di Cirebon telah terdapat pemukiman Islam (Atja, 1986: 196).

Pernyataan mengenai masuknya Islam ke Cirebon diperkuat pula oleh berita Portugis, Tome Pires, yang menyatakan bahwa tahun 1513 Masehi sebagian masyarakat Jawa Barat yaitu penduduk kota pelabuhan Cirebon dan sebagian penduduk Cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam (Cortesao, 1944: 173, 183). Kalau pada tahun 1513 telah terdapat masyarakat Islam di bawah pimpinan seorang muslim di Cirebon sudah dapat dipastikan terjadi jauh sebelum tahun 1513. Tome Pires pun mendengar berita bahwa 40 tahun yang lalu (1473) penduduk Cirebon masih kafir (belum beragama Islam). Dengan demikian pendapat yang diberitakan oleh Tome Pires dapat memperkuat pernyataan mengenai masuknya agama Islam ke Cirebon menurut sumber tradisi satempat.

            CPCN memberikan keterangan bahwa pada tahun 1420 telah datang di pelabuhan Muhara Jati seorang ulama dari Arab berserta robongannya berjumlah 12 orang, terdiri atas 10 orang pria dan 2 orang wanita. Rombongan tersebut dipimpin oleh Syekh Nurjati atau lebih dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi. Di pelabuhan Muhara Jati ia diterima oleh penguasa satempat, yaitu Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati. Atas izinnya, Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren di Amparan Jati (Atja, 1986: 160; Atja dan Ayatrohaedi, 1986: 70).

Pada perkembangan berikutnya diketahui bahwa Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rarasantang, putera Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi), berguru pula kepada Syekh Datuk Kahfi. Dalam upaya mengembangkan Islam, Pangeran Walangsungsan kemudian diperintah gurunya untuk membuka pemukiman baru di Kebon Pesisir, tahun 1445. Kemudian sekitar tahun 1447 Pangeran Waalasungsang dan adiknya itu diperintahkan pula agar menunaikan haji ke Mekah untuk menyempurnakan syariat agama Islam (Atja, 1986: 33, 123, 160-162).

Sejak dibukanya pemukiman di Kebon Pesisir dan disempurnakan dengan menunaikan ibadah haji, Pangeran Walasungsang lebih giat lagi mensyiarkan agama Islam. Hanya saja kegiatannya di sekitar Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Kawali (Galuh) dengan rajanya Prabu Niskala Wastukancana (1371-1475)(Ekadjati et al, 1993: 128).

Ketika Sunan Gunung Jati (keponakan Pangeran Walasungsang) berkuasa di Cirebon, yang dinobatkan sebagai Tumenggung Cirebon pada tahun 1479 dan dianugerahi gelar sebagai Panetep Panata Agama Islam (wali) di Tanah Sunda, Cirebon melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Sunda sehingga agama Islam berkembang lebih pesat lagi. Tidak saja Cirebon, melainkan juga ke daerah-daerah lainnya di Jawa Barat, seperti Luragung, Kuningan, Banten, Sunda Kalapa, Karawang, Indramayu, Sindangkasih, Talaga, Galuh, Ukur, Cibalagung, Pagadingan, Indralaya, Batulayang dan Timbanganten. Sejak saat itu Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat (Atja, 1986: 169, 189;Sulendraningrat, 1984: 34; Ekadjati et al., 1993: 128, 131)

Berdasarkan keterangan di atas terlihat bahwa daerah Kuningan adalah salah satu obyek penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pelaku penyebar Islam, dalam hal ini adalah orang-orang muslim pejabat pemerintahan Kerajaan Cirebon. Datangnya Islam di Kuningan ini melalui tahapan proses yang tidak sebentar, di dahului dengan terjadinya perkembangan pesat kehidupan sosial dan politik yang berlangsung di kawasan Pantai Utara Jawa Barat bagian Timur, khususnya Cirebon. Perkembangan pesat ini sejalan dengan merembes masuknya agama Islam ke daerah tersebut melalui perantaraan para pedagang muslim.


Aksi

Information

Satu tanggapan

2 02 2017
Masuknya Islam Ke Kuningan – Warta Kuningan

[…] Permulaan Masuknya Islam di Kuningan Berdasarkan penelitian sejarah diketahui bahwa Cirebon pernah menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dari Cirebon agama Islam disebarkan oleh Sunan Gunung Jati ke daerah Banten, sehingga selanjutnya Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian Timur Jawa Barat, dan Banten menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian Barat Jawa Barat (Ekadjati, 1975:104).Tumbuhnya pusat-pusat kegiatan agama Islam ini dimungkinkan karena daerah tersebut, terutama Cirebon, terlebih dulu tumbuh menjadi daerah kekuatan politik Islam yang sejak kelahirannya terus mengalami kemajuan dan perkembangan pesat. Lahirnya kekuatan politik Islam di Cirebon itu tidak dapat dipisahkan dengan proses penyebaran Islam di Nusantara, yaitu setelah daerah ini banyak dikunjungi dan didatangi para pedagang muslim seperti dari Arab, Persia dan India. Carita Purwaka Caruban Nagari (selanjutnya disingkat CPCN) di antaranya telah mencatat bahwa agama Islam masuk ke Cirebon sekitar abad ke-14 Masehi, di mana pada waktu itu di Cirebon telah terdapat pemukiman Islam (Atja, 1986: 196). Pernyataan mengenai masuknya Islam ke Cirebon diperkuat pula oleh berita Portugis, Tome Pires, yang menyatakan bahwa tahun 1513 Masehi sebagian masyarakat Jawa Barat yaitu penduduk kota pelabuhan Cirebon dan sebagian penduduk Cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam (Cortesao, 1944: 173, 183). Kalau pada tahun 1513 telah terdapat masyarakat Islam di bawah pimpinan seorang muslim di Cirebon sudah dapat dipastikan terjadi jauh sebelum tahun 1513. Tome Pires pun mendengar berita bahwa 40 tahun yang lalu (1473) penduduk Cirebon masih kafir (belum beragama Islam). Dengan demikian pendapat yang diberitakan oleh Tome Pires dapat memperkuat pernyataan mengenai masuknya agama Islam ke Cirebon menurut sumber tradisi satempat. CPCN memberikan keterangan bahwa pada tahun 1420 telah datang di pelabuhan Muhara Jati seorang ulama dari Arab berserta robongannya berjumlah 12 orang, terdiri atas 10 orang pria dan 2 orang wanita. Rombongan tersebut dipimpin oleh Syekh Nurjati atau lebih dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi. Di pelabuhan Muhara Jati ia diterima oleh penguasa satempat, yaitu Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati. Atas izinnya, Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren di Amparan Jati (Atja, 1986: 160; Atja dan Ayatrohaedi, 1986: 70). Pada perkembangan berikutnya diketahui bahwa Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rarasantang, putera Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi), berguru pula kepada Syekh Datuk Kahfi. Dalam upaya mengembangkan Islam, Pangeran Walangsungsan kemudian diperintah gurunya untuk membuka pemukiman baru di Kebon Pesisir, tahun 1445. Kemudian sekitar tahun 1447 Pangeran Waalasungsang dan adiknya itu diperintahkan pula agar menunaikan haji ke Mekah untuk menyempurnakan syariat agama Islam (Atja, 1986: 33, 123, 160-162). Sejak dibukanya pemukiman di Kebon Pesisir dan disempurnakan dengan menunaikan ibadah haji, Pangeran Walasungsang lebih giat lagi mensyiarkan agama Islam. Hanya saja kegiatannya di sekitar Cirebon masih berada di Kawali (Galuh) dengan rajanya Prabu Niskala Wastukancana (1371-1475)(Ekadjati et al, 1993: 128). Ketika Sunan Gunung Jati (keponakan Pangeran Walasungsang) berkuasa di Cirebon, yang dinobatkan sebagai Tumenggung Cirebon pada tahun 1479 dan dianugerahi gelar sebagai Panetep Panata Agama Islam (wali) di Tanah Sunda, Cirebon melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Sunda sehingga agama Islam berkembang lebih pesat lagi. Tidak saja Cirebon, melainkan juga ke daerah-daerah lainnya di Jawa Barat, seperti Luragung, Kuningan, Banten, Sunda Kalapa, Karawang, Indramayu, Sindangkasih, Talaga, Galuh, Ukur, Cibalagung, Pagadingan, Indralaya, Batulayang dan Timbanganten. Sejak saat itu Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat (Atja, 1986: 169, 189;Sulendraningrat, 1984: 34; Ekadjati et al., 1993: 128, 131) Berdasarkan keterangan di atas terlihat bahwa daerah Kuningan adalah salah satu obyek penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pelaku penyebar Islam, dalam hal ini adalah orang-orang muslim pejabat pemerintahan Kerajaan Cirebon. Datangnya Islam di Kuningan ini melalui tahapan proses yang tidak sebentar, di dahului dengan terjadinya perkembangan pesat kehidupan sosial dan politik yang berlangsung di kawasan Pantai Utara Jawa Barat bagian Timur, khususnya Cirebon. Perkembangan pesat ini sejalan dengan merembes masuknya agama Islam ke daerah tersebut melalui perantaraan para pedagang muslim. Penulis : Yaya Sunarya, S.S, M.Si Masuknya Islam ke Kuningan […]

Tinggalkan komentar